Upaya Global dalam GerakanRamah Lingkungan

Sekarang ini, ketika kita melihat ke sekeliling dunia ini, kita benar-benar melihat gerakan ramah lingkungan yang sedang berkembang pesat. Hal ini merupakan perkembangan yang menandai datangnya Zaman Keemasan. Kita melihat para pemimpin bermunculan di sektor swasta, organisasi pemerintah, nonpemerintah, maupun inisiatif warga negara perorangan untuk melindungi ketahanan lingkungan.

Transformasi Ramah Lingkungan Global
Oleh Grup Berita Singapura (Asal dalam bahasa Inggris)

Para ilmuwan di bidang iklim telah menyajikan bukti-bukti meyakinkan bahwa pemanasan global benar-benar terjadi. Pemanasan global bertanggung jawab atas aktivitas angin topan yang kuat, mencairnya es di kutub, dan telah menyebabkan perubahan drastis terhadap pola iklim kita yang mengakibatkan kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang hebat di seluruh dunia. Untuk mengatasi krisis ini, usaha bersama secara global diperlukan untuk mengurangi emisi karbon. Untuk mencapai tujuan ini, peningkatan efisiensi energi adalah salah satu tindakan pelaksanaan yang paling mudah diambil.

Berita baiknya adalah ada banyak cara untuk menghemat energi yang telah terbukti berhasil dan tidak mahal biayanya. majalah Newsweekterbitan 29 Januari Tahun Emas 4 (2007) menguraikan tujuh cara yang bisa memberikan dampak positif terbesar dalam menyelamatkan dunia dari pemanasan global melalui efisiensi energi:

1. Menggunakan bahan insulasi yang efektif

Pemanas dan penyejuk ruangan menyedot 36% dari energi total dunia. Sebagaimana diperlihatkan oleh prototipe rumah-rumah ‘nol-energi’ di Swiss dan Jerman, penggunaan bahan insulasi yang mutakhir dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan pemakaian alat pemanas dan pendingin udara; dan jumlah penghematannya bisa besar sekali.

Di samping bahan insulasi yang baik, rumah nol energi juga menggunakan sumber energi yang dapat diperbarui, seperti energi matahari.
2. Mengganti bola lampu pijar
Sebuah lampu neon hemat energi berbentuk spiral.

Penerangan menghabiskan 20% listrik dunia, dimana 40%-nya digunakan untuk menyalakan lampu pijar, sementara lampu pijar memboroskan sebagian besar energi yang dikonsumsinya untuk menghasilkan panas yang tidak diperlukan. Dibanding dengan lampu pijar, lampu neon tidak hanya menggunakan listrik 75% hingga 80% lebih sedikit untuk menghasilkan jumlah cahaya yang sama, tetapi lampu neon juga tahan 10 kali lebih lama.

3. Memperbaiki efisiensi pertukaran panas

Hanya sedikit dari energi yang dipompakan ke dalam ketel air, alat pemanas ruangan, alat pendingin ruangan, serta sistem pemanasan dan pendinginan lainnya, yang benar-benar digunakan untuk mengubah temperatur. Solusi lain yang lebih efisien adalah menggunakan pompa panas yang dapat memindahkan dan menggunakan panas dari udara luar atau tanah untuk memanaskan sebuah bangunan atau persediaan airnya. Sistem ini dapat dibalik untuk mendinginkan bangunan juga.

4. Merancang kembali infrastruktur energi pabrik

Pabrik industri di seluruh dunia menghabiskan sekitar sepertiga energi dunia. Kesempatan untuk menghemat energi sangat besar. Misalnya, pabrik penghasil baja di Jepang seperti Mitsubishi Heavy Industries telah menjadi pionir sejak tahun 1980-an. Mereka mengurangi lebih dari 70% energi dengan menggunakan panas dari tungku peleburan baja untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik.

Pabrik BASF yang baru di China – panas yang dihasilkan dari satu proses kimia digunakan untuk menggerakkan proses selanjutnya atau menciptakan tenaga listrik untuk proses lainnya, yang berarti mengoptimalkan efisiensi energi.
5. Mengendarai kendaraan ramah lingkungan

25% energi dunia – termasuk dua pertiga produksi tahunan minyak bumi – digunakan untuk transportasi. Seseorang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar sebesar 6% hanya dengan menjaga agar ban mobilnya tidak kempes. Mobil hibrida bertenaga bensin-listrik dapat menambah jarak tempuh 20% lebih jauh daripada model konvensional. Teknologi diesel modern injeksi langsung yang bersih dan bertenaga juga dapat menambah jarak tempuh hingga 40% lebih jauh dibanding mobil bertenaga bensin.

1. Sedan Hibrida Toyota Prius tahun 2007
2. SUV Hibrida Ford Escape tahun 2007
6. Menggunakan peralatan rumah tangga yang hemat energi

Lebih dari separuh dari seluruh energi yang mengalir ke rumah digunakan untuk menggerakkan peralatan rumah tangga. Hal itu menghasilkan 20% emisi karbon dunia. Pabrik-pabrik alat rumah tangga telah meningkatkan efisiensi lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya sebesar 70% sejak tahun 1980-an, tetapi masih ada peluang peningkatan. Dengan memakai peralatan yang hemat energi, rumah tangga dapat menghemat sebagian besar uang, karena peralatannya lebih tahan lama, dan mengurangi konsumsi listrik dunia untuk rumah tangga sebesar 43%.

Lemari es hemat energi LG Panorama – di samping menggunakan teknologi efisiensi energi, juga tidak ada pintu besar yang dapat membuat udara dingin keluar.
7. Menemukan cara kreatif untuk membiayai investasi hemat energi

Perusahaan layanan publik dan layanan energi dapat membayar biaya pemasangan alat hemat energi sebagai imbalan atas penghematan tagihan-layanan-umum pelanggan yang ditanggung bersama. Dalam sebuah pendekatan baru, layanan publik California memberi potongan harga ekstra kepada para konsumen karena mengurangi pemakaian listrik sebesar 10% atau lebih. Dengan cara ini, perusahaan layanan publik mendapat keuntungan dengan menurunkan kebutuhan puncak pemakaian listrik, yang berarti menghindari perlunya mendirikan pabrik pembangkit tenaga listrik tambahan yang menelan biaya jutaan dolar.

Cara Tepat Mengelola Sampah Rumah Tangga

Yohannie Linggasari, CNN Indonesia
Cara Tepat Mengelola Sampah Rumah TanggaIlustrasi gerakan pungut sampah. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia — Sampah merupakan hal yang selalu dihasilkan manusia setiap hari. Menurut data Waste4Change, banyaknya sampah di Jakarta bila dikumpulkan selama dua hari akan menyamai luasnya Candi Borobudur. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Waste4Change Bijaksana Junerosano.

Sano, begitu ia kerap disapa, mengatakan perlunya pemilahan sampah rumah tangga agar memudahkan proses daur ulang. Setidaknya, sampah harus dipisah menjadi tiga, yaitu sampah organik, anorganik, dan kertas.

Barulah nanti dipilah lagi menjadi lebih rinci. Sayangnya, menurut Sano, belum semua orang Indonesia paham akan pentingnya pemilahan ini. Padahal, dengan melakukan hal kecil ini, sudah berarti banyak bagi pengelola sampah.

Namun, masalah lainnya, apabila sampah sudah dipilah berdasarkan jenisnya, tukang angkut sampah cenderung mencampurkannya kembali. Hal ini membuat usaha pemilahan yang dilakukan jadi sia-sia. Melihat permasalahan ini, Sano memberikan beberapa saran.

“Yang pasti, tetap pisahkan sampah yang organik dan anorganik. Yang organik misalnya bahan-bahan sisa memasak. Sementara sampah anorganik misalnya wadah pembungkus makanan dan botol plastik,” kata Sano di konferensi pers The Body Shop, di Plaza Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (3/12).

Sano menjelaskan sampah organik dapat didaur ulang menjadi pupuk kompos. Menurut Sano, diubahnya sampah jadi pupuk kompos dapat mengurangi jumlah sampah hingga 70 persen. “Kalau sudah jadi kompos, nanti bisa jadi pupuk untuk tanaman taoge atau pohon cabai di rumah,” kata Sano.

Namun, bila tidak punya waktu untuk membuat pupuk kompos, maka Sano menyarankan agar sampah itu diletakkan di depan rumah dalam keadaan terbungkus untuk diangkut tukang sampah. Namun, tetap harus dalam kondisi terpisah dari sampah anorganik.

Untuk sampah anorganik, Sano menyarankan agar dijual kembali agar memberikan nilai ekonomis atau diberikan kepada yang membutuhkan.

“Jangan menaruh sampah anorganik di depan rumah, karena nanti akan dicampurkan dengan sampah organik oleh tukang sampah,” katanya.

Ia menambahkan, “Bila tidak mau dijual, berikan ke pemulung saja. Satu kilogram botol plastik senilai dengan Rp 3 ribu.” Pilihan lainnya yaitu dengan membuat kerajinan tangan dari sampah-sampah anorganik tersebut. Hasilnya bisa dipakai sendiri atau dijual.

RAHASIA SUKSES PENGOLAHAN SAMPAH DI JEPANG

Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.

Sampah Menurut Jenisnya di Jepang / photo Junanto

Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Contoh terbesar ketidakpedulian itu adalah terjadinya kasus pencemaran Minamata, saat pabrik Chisso Minamata membuang limbah merkuri ke lautan dan mencemari ikan serta hasil laut lainnya. Para nelayan dan warga sekitar yang makan ikan dari laut sekitar Minamata menjadi korban.  Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat tragedi tersebut.

Di tahun 60 dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan, keracunan, menjadi bagian dari tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo sendiri, limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan warga Tokyo.

Barulah pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya. Gerakan mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle.  Mengurangi pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur Ulang.

Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu, urusan lingkungan belum menjadi prioritas.

Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang

Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi Daur Ulang atau Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun 1997, Undang-undang Kemasan Daur Ulang atau “Containers and Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen.

Rahasia Sukses Jepang

Dari beberapa hal tersebut, setidaknya terdapat tiga rahasia sukses Jepang dalam penanganan sampah rumah tangga. Pertama, tingginya prioritas masyarakat pada program daur ulang. Hampir semua orang Jepang paham mengenai pentingnya pengelolaan sampah daur ulang.

Untuk membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti “chonaikai” melakukan aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan masyarakat. Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke perumahan untuk memonitor pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga tentang cara penanganan sampah.

Kedua, munculnya  tekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila kita tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu menjadi kunci efektivitas penanganan sampah di Jepang.

Saya pernah melihat orang Jepang yang sedang mabuk di kereta sambil memegang botol bir. Saya mengikuti saat ia keluar dari kereta. Dia celingak celinguk mencari tempat sampah. Menariknya, dalam keadaan mabuk, ia masih membuang sampah, bukan hanya di tempatnya, namun bisa memilih tempat sampah daur ulang khusus botol dan kaleng.

Dari kejadian itu saya berpikir bahwa kebiasaan membuang sampah, selain juga karena dibangun rasa malu, juga telah masuk ke alam bawah sadar mereka.

Ketiga, program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini. Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang mampu tertanam di alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi “habit”.

Awalnya dulu, resistensi sempat muncul dari beberapa kalangan mengenai perubahan cara membuang sampah ini. Banyak warga, khususnya orang-orang tua, yang memprotes cara baru penanganan sampah, karena dianggap merepotkan. Namun dengan penjelasan dan informasi yang terus menerus mengenai manfaat dari pembuangan sampah, resistensi itu berkurang dengan sendirinya.

Tempat Sampah di salah satu Mall kota Tokyo / photo Junanto

Bisakah kita Meniru Jepang?

Melihat proses pembentukan “habit” pengolahan sampah di Jepang tersebut, saya yakin kalau kita di Indonesia bisa meniru Jepang. Kesadaran pada sampah dan lingkungan hidup di Jepang baru tumbuh dalam beberapa puluh tahun terakhir. Artinya hal tersebut bukan terjadi by default pada diri masyarakat Jepang, namun dilakukan by design dengan membentuk habit atau kebiasaan melalu edukasi.

Oleh karena itu, upaya membangun kesadaran masyarakat melalui berbagai kampanye lingkungan hidup oleh komunitas-komunitas peduli lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Sahabat Kompasianer dari Jogjakarta, Mas Daniel Suharta dan kawan-kawan, perlu banyak dilakukan di setiap kota dan tempat.

Apa yang dilakukan mas Daniel dengan membentuk berbagai program kampanye peduli lingkungan, persis seperti yang dilakukan oleh chonaikai di Jepang, 30 tahun lalu. Meski saat itu pemerintah Jepang belum mendukung dan bergerak, mereka tidak putus asa.  Selama 20 tahun, komunitas tersebut terus konsisten meraih simpati dan berkembang pesat hingga akhirnya malah dapat memberi tekanan sosial pada pihak pemerintah.

Langkah lainnya adalah dengan membuat program edukasi bagi setiap elemen masyarakat. Berbagai brosur dan informasi dibuat untuk anak-anak sekolah sehingga kebiasaan membuang sampah terbentuk sejak kecil. Di sisi lain para orang tua juga harus memberi contoh. Hal ini sangat penting, karena anak-anak meniru apa yang dilakukan orang tua.

Dengan berbagai hal tersebut, pada akhirnya nanti pemerintah mau tak mau akan mendukung gerakan peduli lingkungan. Dan bila demikian halnya, Undang-undang dibuat bukan untuk mengatur, namun hanya meng-amin-i saja realita yang sudah terjadi di masyarakat.

Tak heran, makin maju suatu negara, makin sedikit peraturannya. Di Jepang, saya jarang sekali melihat tulisan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” atau “Dilarang Buang Sampah”. Karena tanpa tulisan itu-pun, masyarakat sudah membuang sampah di tempatnya.

POTRET PENDIDIKAN DI JEPANG

jepang-2.jpgDALAM kurun waktu bergulirnya Restorasi Meiji (Meiji Ishin) tahun 1868 dan dekade sesudahnya, bangsa Jepang telah membelalakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia Barat.

Padahal, sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem masyarakat feodal, yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan di kuil dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya (sekolah kuil). Mirip dengan pesantren di Indonesia.

Namun, semenjak Restorasi Meiji dikibarkan, bagai bola salju, pemerintah Jepang terus “menggelindingkan” puspa ragam kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masing-masing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan kemajuan dunia Barat.

Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, yang punya gagasan cemerlang. Gasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyatakan pada bagian pendahulaun buku tersebut “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan sebab Tuhan tidak menempatkan manusia yang lain. Kalau kenyataan dalam masyarakat memang ada orang yang berkedudukan lebih tinggi dan ada pula yang berkedudukan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena yang berkedudukan tinggi telah mementingkan pendidikan, sedangkan yang rendah sebaliknya”.

Kemajuan bangsa Jepang bertambah “runcing” sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Struktur baru pendidikan yang dikembangkan Amerika Serikat dalam Cummings (1984), ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan.

Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.

Ketiga, setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.

Kegiatan Jepang dalam cerdas dan mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Inggris maupun Prancis.

Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hong Kong pada akhir tahun 2001 (Republika, 03/05/02) menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human Development Index atau indeks pembangunan manusia (IPM). Sementara itu, kalau kita bandingkan dengan IPM Indonesia, sungguh sangat jauh. Dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan juru kunci. Hasil survei tahun 2000 dariUnited Nation Development Program (UNDP), badan PBB yang mengurus program pembangunan, menempatkan Indonesia di urutan ke-109 dari 174 anggota PBB (Republika, ibid). Rendahnya IPM Indonesia merupakan ouput dari mutu sistem pendidikan.

Menurut Prof. Herman Kahn dalam Ajip Rosidi (Mengenal Jepang) menyatakan, berdasarkan data-data ilmiah, pada awal abad ke-21, Jepang akan menjadi negara nomor satu di dunia, di segala bidang. Bukankah ramalan itu mendekati kenyataan?

Latar belakang

Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Pada dasarnya ada kemiripan latar belakang perkembangan kebudayaan antara Indonesia dan Jepang, (selanjutnya disingkat IJ). Secara historis, peradaban IJ dapat dilacak kembali sampai ke zaman yang sangat kuno. Peradaban IJ mengembangkan kebudayaannya dengan jalan menyerap dan mengasimilasikan unsur-unsur asing, yang berlanjut menjadi lapisan dasar budaya asli.

Di Indonesia pada abad ke-8 sampai 10 berkembang beberapa kerajaan yang berorientasi pada agama Budha dan Hindu di Jawa Tengah, dengan peninggalannya yang terkenal berupa Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Begitu pula di Jepang, pada zaman yang sama mereka menyerap dan mengasimilasikan kebudayaan Cina, dengan mengembangkan kebudayaan Nara-Heian dan pembangunan kuil Horyuji serta Bangsal Budha Agung di Nara. Menurut Taroo Sakamoto, persamaan waktu antara munculnya Borobudur dan Bangsal Budha Agung merupakan petunjuk akan adanya persamaan antara Kebudayaan Indonesia dan Jepang.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik isolasinya, melaksanakan pendidikannya dengan sistem terakoya (sekolah kuil). Menjelang akhir zaman Shogun terdapat lebih dari 7.000 terakoya. Ini merupakan dasar bagi pelaksanaan sistem wajib belajar (gimu kyooiku) yang lebih komprehensif setelah dimulainya Restorasi Meiji.

Pendidikan yang meluas dan membumi telah membuat orang Jepang hampir semuanya melek huruf mendekati angka 100%, dan orang yang buta huruf kurang lebih hanya 0,7% pada tahun 1979. Bandingkan dengan Indonesia! Menurut Dirjen PLS Depdiknas, Fasli Djalal, saat ini lebih dari 16 juta WNI yang berusia di atas 10 tahun masih belum melek huruf. Lagi pula, menurut Dirjen Dikdasmen, Indra Jati Sidi, banyak sekali lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan ke SMP karena berbagai sebab.

Data statistik tahun 1985 dari Japanese Life Today dan International Society for Educational Information, Tokyo menyebutkan bahwa persentase siswa Jepang yang melanjutkan ke SMA lebih kurang 94%, dan yang melanjutkan ke PT lebih kurang 38%. Hal ini bila dibandingkan dengan kondisi yang sama dengan negara lain di dunia, misalnya Prancis (24%), Inggris (20%), Jepang menempati urutan pertama setelah Amerika Serikat (43%).

Tingginya standar pendidikan Jepang di atas tidak semata-mata muncul dengan sendirinya, namun yang perlu diungkap di sini adalah ciri utama bangsa Jepang yaitu kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan. Sebagai bangsa literal dan minat baca yang tinggi, wajar dan mengamini bila bangsa Jepang maju dalam bidang pendidikan. Bukan hanya bacaan berupa buku ilmu pengetahuan, teknologi, dan sastra saja yang menjadi bahan bacaan mereka, tetapi koran pun masih menjadi bacaan wajib setiap hari. Sebagaimana dikatakan Tanaka dalam Dahidi, “Even today, Japanese still expect to act as the national conscience…newspapers are still the trusted medium in Japan”.

Membaca bagi kebanyakan orang Jepang bukan merupakan kegiatan yang dipaksakan, tetapi karena dalam diri mereka telah tertanam suatu sifat kebutuhan akan bacaan. Akibatnya, tidak heran bila kita lihat kehidupan sehari-hari bangsa Jepang tidak akan lepas dari membaca. Di stasiun, perpustakaan, di jalan, atau secara ekstremnya dikatakan, di mana ada kehidupan, di situ mereka membaca.

Menurut Tanaka (ibid) jumlah buku yang diterbitkan setiap tahun, diperkirakan sebanyak 1.400 juta jilid, majalah bulanan (2.500 juta) jilid, majalah mingguan (1.700 juta) jilid. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa dalam setahun, setiap orang Jepang membaca kira-kira 12 buku dan 35 majalah. Buku-buku tersebut tidak termasuk buku pelajaran. “This works out to about 12 books and 35 magazines per person per year, not counting the many textbook which students read in school”. Perputaran uang dari penjualan buku dan majalah itu “hanya” sekira 2 triliun yen. Hasil yang luar biasa, bukan?

Karakteristik

Bagaimana Jepang berhasil dalam merombak masyarakat melalui pendidikan? Menurut Wiliam K. Cummings, beberapa faktor yang mendukung adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada pendidikan datang dari pelbagai macam pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga, di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah. Keempat, kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan “manusia seutuhnya”. Terakhir, guru Jepang bersikap adil.

Di samping hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal. Misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relatif setaraf; (3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi; (4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat.

Menurut Danasasmita, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan “ringannya” mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa.

Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapanotsukaresamadeshita (maaf, Anda telah bersusah payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah!). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria).

Dari beberapa karakteristik yang disebutkan di atas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan tidaklah sekadar proses kegiatan belajar-mengajar saja, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”, bukan seolah-olah manusia dijadikan “jagung” atau “padi” yang setiap tiga atau enam bulan sekali mengganti metode “penanamannya”, apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan.

Bukankah membutuhkan satu generasi untuk melihat hasil pendidikan bagi manusia? Dengan kata lain, pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai “manusia yang sadar diri” dalam generasi itu. Artinya, menjadikan manusia itu “mengerti” apa yang seharusnya diperbuat dan apa yang tidak, memahami yang baik dilakukan dan yang jelek ditinggalkan, serta mengetahui mana yang merupakan hak dan mana kewajiban.

Menurut William O’neil, pakar pendidikan dari University of Southern California dalam Ideologi Pendidikan (2001), menyatakan bahwa pendidikan kalau boleh diibaratkan memang seperti seorang musafir yang sedang berada pada persimpangan jalan. Jalan mana yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan adalah pilihan. Demikian juga dengan pendidikan, memilih jalan itu merupakan hal yang amat penting dan menentukan keberhasilan.

Akan tetapi, dalam pendidikan yang menjadi persoalan adalah pendidikan mau melegitimasi sistem dan struktur sosial yang ada ataukah berperan kritis dalam usaha melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil.

Dari adanya dua pilihan dilematis itulah, melahirkan berbagai ideologi dalam pendidikan. Ideologi pendidikan menurut O’neil (Ibid), dipetakan ke dalam dua paradigma utama, yaitu pendekatan konservatif dan liberal. Kedua paradigma tersebut sebagai berikut. Pertama, paradigma konservatif memang melihat adanya ketidaksejajaran dalam masyarakat, namun hal itu dianggap wajar dan merupakan hukum alamiah (sunatullah), tidak bisa dihindari karena sudah digariskan Tuhan. Kedua, paradigma liberal, meyakini bahwa ada masalah dalam masyarakat. Menurut kaum liberal, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Pendidikan merupakan sokoguru (penyanggga) kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari “hidup” dan “mati”-nya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhir-akhir ini muncul pula sebuah slogan “Pendidikan Adalah Masa Depan Bangsa”. Pernyataan yang berbau klise itu semestinya menjadi cambuk bagi kemajuan pendidikan kita, namun kenyataannya hingga saat ini hanyalah sebuah “cita-cita luhur” yang tak tahu kapan terjadi dan di mana rimbanya.

Mengenaskan memang, Indonesia yang dulunya terkenal sebagai negara yang kaya raya tata, titi, tentrem, kerta, tur raharja (tenteram dan makmur) dan sempat menjadi percontohan di bidang pendidikan di kawasan ASEAN harus menjadi pecundang dalam hal mutu pendidikan.

Bila kita membandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Vietnam sekalipun kita masih keok, apalagi dengan Malaysia yang nota bene pernah kita jadikan tujuan “ekspor” dosen-dosen kita mengajar di sana. Tidak ketinggalan, kurikulum made in Indonesia pun pernah “dipekerjakan” di Malaysia pada dekade 70-an. Hasilnya sungguh luar biasa, mereka berhasil! Investasi pendidikan yang ditanam bangsa serumpun itu telah berbuah manis. Kemajuan membuat mereka kini berkata “Malaysia is Truly Asia”. Kemudian, apa yang kurang pada bangsa Indonesia ini?

Di kawasan Asia Tenggara, bangsa Indonesia dalam banyak hal sering dikonotasikan negatif oleh bangsa lain. Bangsa ini sering dipandang sebagai bangsa yang “kreatif” (baca: punya akal bulus/licin bagai belut), terutama dalam korupsi, kolusi, nepotisme.

Ada pemeo yang menyatakan bahwa Indonesia ini banyak korupsi, tetapi tidak ada koruptor (artinya begitu licinnya para koruptor dalam menghindari jeratan hukum sehingga sulit ditangkap, dan atau mungkin sebagian para penegak hukum kita masih “malu-malu” menangkap koruptor?). Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.

Terlepas dari semua itu, bangsa Indonesia belum kiamat walaupun permasalahan dalam negeri tak kunjung selesai dan ada kecenderungan makin berlarut-larut, kita tetap harus punya semangat bushido. Krisis yang melanda bangsa ini begitu multidimensionalnya mulai dari moneter, dekadensi moral, kepercayaan, disintegrasi bangsa, “perang” antarsesama, dan tidak terhitung lagi banyaknya permasalahan rumit yang belum terselesaikan. Sepertinya sungguh suatu peringatan dan azab dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya serta minta ampun kepada Pencipta, lebih bijaksana kalau kita menatap ke masa depan dan hari esok bagi kelangsungan generasi muda. Hari esok bukanlah hari Senin-Minggu, tetapi hari esok adalah arah kebijakan pendidikan kita yang akan dibawa ke mana.

Masih banyak generasi penerus kita yang berprestasi dalam arti yang sebenarnya. Permainan belum selesai, “Saudara tua” kita, Jepang, mampu bangkit walaupun telah porak-poranda dihantam bom atom oleh Amerika pada Perang Dunia II. Tetangga kita Vietnam mampu “berdiri tegak” walaupun baru saja (1975-an) berbenah setelah “bertinju” dengan Amerika. Malaysia mampu berdendang dengan (We are truly Asia) setelah hampir 3 dasawarsa “berguru” ke kita.

Kenapa kita yang lebih dari 56 tahun merdeka masih jalan di tempat. Tidakkah kita melihat rumput orang lain yang hijau sebagai cambuk untuk maju meskipun sebenarnya rumput kita sendiri juga hijau. Kalau kita mampu bangkit dan dan yakin akan segera keluar dari krisis, serta berkeinginan menanamkan investasi pendidikan, bukan sebuah mimpi kalau nanti kita berhasil dan mengatakan “Indonesia is pure Asia.”

Momen penting kunjungan Presiden Megawati ke Universitas Pendidikan Indonesia seharusnya dijadikan tonggak sejarah untuk mulai bertindak dalam meningkatan mutu pendidikan Indonesia ke depan. Selain itu, juga pengalaman Jepang dalam merombak masyarakatnya lewat pendidikan, sekiranya bisa “dilirik” untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh Indonesia dalam merencanakan masa depannya. Bukankah agama mengajarkan kepada kita untuk mencari ilmu ke mana pun? Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila kita ngangsu kawruh (mencari ilmu) ke Jepang mengenai pendidikan. Semoga!***

Potret Dunia Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan Korsel teratas di dunia

pendidikan, korea selatan

Korea Selatan menempati peringkat pertama sebagai negara dengan sistem pendidikan global terbaik versi Pearson, sementara Indonesia menempati urutan bawah.

Dalam survei yang dilakukan oleh lembaga edukasi dan perusahaan penerbitan Pearson, ada empat negara Asia yang menempati urutan atas.

Selain Korsel, ada pula Jepang, Singapura, dan Hong Kong yang berturut-turut berada di posisi dua, tiga dan empat.

Sementara itu, Inggris berada di peringkat enam dan menjadi negara terbaik kedua di wilayah Eropa dalam tabel tersebut.

Peringkat ini meliputi pendidikan tingkat tinggi dan tes sekolah internasional, kata Wartawan BBC, Sean Coughlan.

Cerminan budaya

Kepala Eksekutif Pearson, John Fallon, menekankan adanya hubungan yang kuat antara meningkatkan keahlian dan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Riset pendidikan internasional terbaru yang dibuat untuk Pearson oleh Economist Intelligence Unit, menekankan kesuksesan sistem pendidikan Asia seperti di Korea Selatan, Singapura, dan Jepang yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi mereka.

Sebuah laporan dari A Learning Curve yang diterbitkan sebagai pelengkap mengatakan bahwa kesuksesan pendidikan Asia ini mencerminkan budaya bahwa baik guru dan murid sama-sama sangat dihormati, serta “guru, murid, dan orang tua, bersama-sama bertanggung jawab terhadap pendidikan.”

Namun laporan tersebut juga mencatat bahwa keterampilan yang sangat berharga seperti kreativitas dan keahlian dalam memecakan masalah jauh lebih sulit untuk diukur dan dimasukkan ke dalam peringkat tersebut.

Negara Eropa yang ada di peringkat bawah adalah Yunani. Sekelompok negara-negara berkembang juga ada di bagian bawah, termasuk Indonesia, Meksiko dan Brasil.

“Revolusi Mental” dan Permasalahan Sistem Pendidikan Indonesia

Dua kata ini mulai bergaung dan akrab di telinga masyarakat Indonesia sejak kampanye pilpres 2014. Revolusi Mental. Sebuah kerangka program yang mampu memenangkan hati banyak rakyat sehingga menjadikan pencanangnya, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih Republik Indonesia periode 2014-2019. Euforia ‘Revolusi Mental’ membuat masyarakat menaruh harapan tinggi untuk perwujudan pendidikan Indonesia yang lebih layak demi menghadapi era globalisasi yang penuh persaingan.

Namun Indonesia tengah mengalami cobaan yang sulit berupa sistem birokrasi yang rawan di berbagai departemen—terutama di bidang pendidikan—yang sering dimanfaatkan para oknum untuk meraup keuntungan lebih, biarpun itu artinya juga merampas hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan dan bersekolah yang layak. Kita sudah banyak mendengar berita tentang penyelewengan dana BOS, isu pungutan liar, penjualan kunci jawaban UN dan juga betapa banyak anak di Indonesia yang tidak bisa bersekolah. Belum lagi banyaknya jumlah anak yang tidak bisa bersekolah biarpun persentase jumlah anggaran yang telah dialokasikan oleh pemerintah di bidang pendidikan sudah melebihi 30% dari APBN. Seberapa besarkah ‘Revolusi Mental’ ini dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia jika isu utamanya bukan hanya kualitas pengajar dan infrastruktur tetapi juga masalah sistem dan birokrasi yang keruh?

Istilah ‘Revolusi Mental’ telah banyak dipakai dalam sejarah filsafat dan politik baik di peradaban Barat maupun Timur. Dengan mendefinisikan ‘mental’ sebagai ‘segala sesuatu yang berkaitan dengan cara berpikir’, revolusi mental dapat diartikan secara umum sebagai suatu perubahan besar terhadap pemikiran-pemikiran dasar manusia yang terjadi dengan cepat. Tentu, jika kita menafsirkan secara sesaat, revolusi mental ini bukanlah penyelesaian masalah pendidikan yang efektif melihat pengaruh yang bisa ditimbulkan hanya sebatas pada perbaikan kurikulum dan inovasi cara mengajar (21st Century Teaching & Learning).

John Locke pernah mengemukakan dalam pandangan filsafatnya bahwa di samping membekali dengan pengetahuan akademis, tujuan utama pendidikan adalah to instill virtue atau menanamkan nilai-nilai kebajikan (Locke, 1693). Prinsip dasar virtue atau kebajikan, menurut Locke, bukan hanya terbatas oleh sesuatu yang bisa dibuktikan oleh penalaran logis, namun lebih menyentuh pada pergulatan psikologis terbesar manusia—memilih antara apa yang kita inginkan dengan apa yang menurut kita benar untuk dilakukan. Hal ini tentu merupakan permasalahan utama dari buruknya sistem pendidikan di Indonesia yang penuh dengan budaya korupsi, penyelewengan dana, serta pungutan liar yang telah dijalankan selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi. Kita tahu bahwa penyebab utama korupsi selain dari kurangnya pendidikan moral dan karakter, juga berasal dari terlalu banyaknya kelemahan dalam suatu sistem, sehingga memberi kesempatan pada oknum-oknum amoral untuk merampas hak rakyat dan bisa lolos dari jerat hukum dengan mudah.

Berdasarkan artikel ‘Mengartikan Revolusi Mental’ yang ditulis oleh Karlina Supelli, dapat dipahami bahwa hubungan integral antara ‘mental manusia’ dan ‘struktur sosial’ dapat terhubung dengan memahami ‘kebudayaan’ sebagai pola kehidupan manusia sehari-hari (daily habits). Otomatis dengan memperbaiki ‘mental manusia’, maka hal-hal yang bersifat fisik—seperti sistem birokrasi politik, aktivitas ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan kesejahteraan sosial—juga akan ikut membaik. Kebudayaan baru yang berlandaskan prinsip-prinsip kebajikan juga akan terbentuk kokoh secara perlahan-lahan sehingga dapat tercipta masyarakat yang beradab, kontributif terhadap pembangunan, dan kritis melawan ketidakadilan di masa depan.

Oleh karena itu, sangat tepat bila menjadikan ‘Revolusi Mental’ sebagai solusi atas permasalahan sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Dengan ini, kita sebagai masyarakat mengembalikan lagi pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla untuk menjalankan realisasi dari jargon ‘Revolusi Mental’ demi terciptanya lingkungan pendidikan Indonesia yang bebas korupsi dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan golongan dan status sosial. Karena bukankah sangat ironis bila sistem pendidikan yang seharusnya mengajarkan serta meninggikan derajat kebajikan pada masyarakat, malah penuh kebobrokan moral dan tindak korupsi di dalamnya?

Bank Dunia dan Pendidikan di Indonesia

Sistem sekolah Indonesia sangatlah luas dan bervariasi. Dengan lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah, sistem ini merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia (berada di belakang China, India dan Amerika Serikat). Dua menteri bertanggung jawab untuk mengelola sistem pendidikan, dengan 84 persen sekolah berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan sisa 16 persen berada di bawah Departemen Agama (Depag). Sekolah swasta pun memainkan peran penting. Walaupun hanya 7 persen sekolah dasar merupakan sekolah swasta, porsi ini meningkat menjadi 56 persen di tingkat menengah pertama dan 67 persen di tingkat menengah umum.

Tingkat pendaftaran bersih sekolah dasar berada di bawah 60% di kabupaten-kabupaten tertinggal dibandingkan dengan di kabupaten maju yang memiliki pendaftaran universal. Tingkat pendaftaran bersih untuk pendidikan menengah mengalami peningkatan kuat (saat ini 66% untuk Sekolah Menengah Pertama dan 45% untuk Sekolah Menengah Umum) tapi tetap rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah ini. Indonesia juga tertinggal dengan para tetangganya dalam Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Tinggi, dengan tingkat pendaftaran kotor sebesar 21% dan 11,5% secara berurutan.

Pendidikan merupakan hal penting bagi agenda pembangunan Pemerintah Indonesia. Belanja pendidikan telah meningkat secara signifikan di tahun-tahun terakhir setelah terjadinya krisis ekonomi. Secara nyata, belanja pendidikan meningkat dua kali dari tahun 2000 sampai 2006. Di tahun 2007, belanja untuk pendidikan lebih besar daripada sektor lain, yang mencapai nilai US$14 miliar, atau lebih dari 16 persen dari total pengeluaran pemerintah. Sebagai bagian dari PDB (3,4 persen), jumlah ini setara dengan jumlah di negara lain yang sebanding.

Undang-Undang mengenai Pendidikan Nasional (No. 20/2003) dan Amandemen Konstitusi III menekankan bahwa semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan; bahwa Pemerintah wajib untuk membiayai pendidikan dasar tanpa biaya; dan bahwa Pemerintah diberi mandat untuk mengalokasikan 20% dari pengeluarannya untuk pendidikan. Undang-Undang mengenai Guru (No. 14/2005) memperkenalkan perubahan-perubahan penting atas syarat dan ketentuan pemberian kerja untuk sertifikasi guru, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Rencana strategis Departemen Pendidikan untuk 2005-9 memiliki tiga pilar utama:

1. Peningkatan akses terhadap pendidikan;
2. Peningkatan kualitas pendidikan;
3. Kepemerintahan yang lebih baik dalam sektor pendidikan.

Di tahun 2005, Pemerintah meluncurkan program yang disebut BOS (Biaya Operasional Sekolah), sebagai cara untuk menyampaikan dana secara langsung ke sekolah-sekolah agar anak-anak tetap bersekolah dan memberi sekolah kebebasan dalam mengelola dana mereka sendiri. Dalam mendukung hal ini sekaligus upaya desentralisasi secara umum, Pemerintah telah menetapkan prinsip Pengelolaan Berbasis Sekolah dalam sistem pendidikan nasional serta menyediakan kerangka untuk Standar Nasional Pendidikan.

Tim pendidikan Bank Dunia berfokus dalam mendukung Rencana Strategis (RENSTRA) Departemen Pendidikan Nasional
Mulai dari RENSTRA 2005-2009, Bank Dunia telah mengembangkan portofolio dukungan atas program-program utama yang diidentifikasi oleh Kementerian sebagai dukungan tambahan. Dialog Pendidikan Tematis yang dipimpin Bappenas (forum untuk Pemerintah dan mitra pembangunan dalam mendiskusikan masalah sektor di tingkat kebijakan) menyediakan arah bagi Bank Dunia dan mitra pembangunan mengenai area fokus untuk dukungan di masa depan. Forum tersebut saat ini memimpin Penilaian Sektor Pendidikan yang akan menyediakan dasar analitis untuk keputusan strategis mengenai arah RENSTRA 2010-2014, yang akan digunakan mitra pembangunan sebagai kerangka dukungan di masa depan.

Program Bank Dunia akan menjembatani program RENSTRA 2005-9 dan 2010 dengan portofolio pinjaman investasi, dana perwalian, dan karya analitis berjalan dan yang akan datang mewakili Kementerian, menyediakan dukungan komprehensif atas karya Direktorat Jenderal di bidang kualitas guru, pendidikan dasar, pendidikan tinggi, dan pengembangan anak usia dini.

Portofolio proyek Kluster Pendidikan terdiri dari proyek-proyek Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, Tinggi, dan Informal. Sebagai tambahan, proyek pelatihan remaja dan prakarsa di tingkat sektor saat ini akan dilakukan. Lebih dari US$ 830 juta diberikan sebagai komitmen untuk bidang Pendidikan kepada Pemerintah Indonesia oleh IDA dan IBRD. Total biaya proyek aktif dan proyek yang akan dilakukan adalah lebih dari US$1.5 miliar. Terlebih lagi, ada dana perwalian dalam jumlah besar yang akan mendukung program pemberian pinjaman.

Masalah pendidikan di Indonesia

Walaupun Indonesia telah pulih dari krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an, negara ini masih tertinggal dari negara-negara tetangga sehubungan dengan akses terhadap layanan pendidikan yang bermutu. Fokus upaya tersebut saat ini adalah pada kualitas lembaga dan pengeluaran publik. Tantangan utama mencakup:

  • Pendaftaran sekolah menengah. Indonesia memiliki pendaftaran sekolah dasar yang hampir universal, tapi di tingkat menengah pertama, peningkatan berjalan lambat. Hanya 55 persen anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah terdaftar di sekolah menengah pertama.
  • Prestasi pembelajaran siswa. Indonesia terus mendapat prestasi yang rendah dalam uji berstandar internasional atas prestasi siswa, bahkan setelah memperhitungkan kondisi sosial ekonomi. Di tahun 2003, Indonesia mendapat posisi ke-33 dari 45 negara dalam Third International Mathematics Science Study (TIMSS). Di tahun 2006, Program for International Student Assessment (PISA), yang menilai seberapa baik kesiapan siswa berumur 15 tahun dalam menghadapi kehidupan, Indonesia mendapat peringkat 50 dari 57 negara dalam bidang ilmu pengetahuan, membaca dan matematika.
  • Alokasi belanja. Walaupun belakangan ini terjadi peningkatan dalam belanja pendidikan secara keseluruhan, investasi Indonesia untuk pendidikan menengah, terutama menengah pertama, masih kurang. Pada saat yang sama, anggaran operasional telah ditekan karena peningkatan substansial dalam pengeluaran untuk gaji.

Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Rendah

Para relawan menulis di wahana Surat Semangat. Dalam wahana ini mereka menuliskan surat untuk menyemangati Kepala Sekolah dan guru seluruh Indonesia agar tetap berjuang mendidik murid-muridnya.

Jakarta – Pemerintah harus bisa meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. Jika kualitas pendidikan dan SDM sudah mumpuni, maka Indonesia berpeluang menjadi basis produksi dan menguasai pasar Asean Economic Community (AEC) 2015.

Demikian yang dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Subandi Sardjoko.

Ia mengatakan, berdasarkan data United Nations Development Program (UNDP) 2011, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan 124 dari 187 negara yang disurvei dengan indeks 0,67 persen. Sedangkan Singapura dan Malaysia mempunyai indeks yang jauh lebih tinggi yaitu 0,83 persen dan 0,86 persen.

Menurut Subandi, Indeks tingkat pendidikan tinggi Indonesia juga dinilai masih rendah yaitu 14,6 persen, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang sudah mempunyai indeks tingkat pendidikan yang lebih baik yaitu 28 persen dan 33 persen.

Dia mengatakan, masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, akan melemahkan daya saing Indonesia dalam menghadapi masyarakat ekonomi Asean 2015. Oleh sebab itu, lanjut Subandi, kunci untuk meningkatkan daya saing Indonesia, dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan melakukan terobosan terbaru dalam sektor pendidikan.

Sebenarnya, kata Subandi, kualitas SDM di Indonesia sudah cukup bagus. Tinggal bagaimana cara pemerintah dan Perguruan Tinggi mengasah SDM tersebut menjadi SDM yang hebat. Jika kolaborasi pemerintah dan perguruan tinggi sudah kuat, maka Indonesia akan mencetak SDM terbaik setiap tahunnya.

“Meningkatkan Kualitas SDM dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan adalah solusi tepat yang harus dilakukan agar Indonesia berpeluang menguasai AEC 2015,” ujar Subandi saat ditemui dalam acara Pembukaan Pameran Pendidikan Tinggi Uni Eropa (European Higher Education Fair) di Hotel Grand Sahid Jaya, Sabtu (12/10).

Dia menjelaskan, saat ini pemerintah mempunyai program wajib belajar sembilan tahun. Menurut Subandi, program tersebut akan terus dipertahankan karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan kualitas kurikulum pendidikan, baik itu di sekolah sekolah maupun perguruan tinggi. Tak hanya itu, lanjut dia, kurikulum yang digunakan haruslah bersifat world update dimana kurikulum tersebut harus mengikuti perkembangan dunia.

Labih dari itu, Subandi menuturkan, dosen, guru dan tenaga pengajar juga menjadi prioritas pemerintah untuk ditingkatkan kualitasnya. “Kami akan selalu support dosen atau guru yang ingin melanjutkan sekolah mereka ke luar negeri dengan memberikan beasiswa. Jika kualitas dosen dan guru baik, maka akan mempengaruhi kualitas anak didiknya,” ujar dia

Ridho Syukro

Wajah Sistem Pendidikan di Indonesia

Wajah Sistem Pendidikan di Indonesia

Kita sebagai orang tua seringkali mengikutkan anak kita berbagai macam les tambahan di luar sekolah seperti les matematika, les bahasa inggris, les fisika dan lain-lain. Saya yakin hal ini kita dilakukan untuk mendukung anak agar tidak tertinggal atau menjadi yang unggul di sekolah. Bahkan, terkadang ide awal mengikuti les tersebut tidak datang dari si anak, namun datang dari kita sebagai orang tua. Benar tidak?

Memang, saat ini kita menganggap tidak cukup jika anak kita hanya belajar di sekolah saja, sehingga kita mengikutkan anak kita bermacam-macam les. Kita ingin anak kita pintar berhitung, kita ingin anak kita mahir berbahasa inggris, kita juga ingin anak kita jago fisika dan lain sebagainya. Dengan begitu, anak memiliki kemampuan kognitif yang baik.

Ini tiada lain karena, pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan kognisi. Dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya ada hal lain dari anak yang tak kalah penting yang tanpa kita sadari telah terabaikan. Apa itu? Yaitu memberikan pendidikan karakter pada anak didik. Saya mengatakan hal ini bukan berarti pendidikan kognitif tidak penting, bukan seperti itu!

Maksud saya, pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.

Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik. Lalu apa sih pendidikan karaker itu?

Jadi, Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster. Pertama, pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.

Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam pola pendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anak didik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut.

Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.

Salam
Timothy Wibowo